13 Tahun Kaltara, Ibu Kota Masih Berstatus Kecamatan: DOB Kota Tanjung Selor Harus Segera Diwujudkan
News Tanjung Selor– Di usia yang menginjak 13 tahun, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) layaknya seorang remaja yang sedang giat membangun jati diri. Penuh semangat, potensi, namun juga dihadapkan pada tantangan untuk menemukan bentuk yang lebih matang. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2021, hari jadi Kaltara ditetapkan pada 25 Oktober setiap tahunnya. Sebuah perjalanan yang telah dimulai sejak 2012 silam.
Namun, di balik gegap gempita pembangunan dan capaian yang telah diraih, terselip sebuah ironi yang terus menggelitik para pemangku kebijakan. Ibu kota provinsi termuda kedua di Indonesia ini, Tanjung Selor, masih menyandang status sebagai sebuah kecamatan, bukan kota.
Fakta inilah yang dengan lantang disuarakan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltara, H. Achmad Djufrie. Baginya, momentum 13 tahun Kaltara harus menjadi pelecut untuk segera mengakhiri paradoks ini.
Paradoks Ibu Kota: Pusat Pemerintahan yang Berstatus Kecamatan
Sebagai pusat pemerintahan, Tanjung Selor menjadi wajah dan jantung Kaltara. Di sinilah kantor gubernur, DPRD, dan berbagai dinas provinsi berpusat. Aktivitas politik, ekonomi, dan birokrasi provinsial berdenyut dari sini. Namun, secara administratif, ia masih berada di bawah Kabupaten Bulungan dan hanya dikepalai oleh seorang camat.
“DOB (Daerah Otonomi Baru) Kota Tanjung Selor harus segera diwujudkan. Kita harus segera memiliki ibu kota dengan status kota. Kan sekarang ibu kota Kaltara masih berstatus kecamatan,” tegas Achmad Djufrie kepada Radar Tarakan, Selasa (28/10/2025).

Pernyataan politisi Partai Gerindra ini bukan tanpa alasan. Status sebagai kota bukan sekadar soal gengsi atau perubahan nomenklatur. Lebih dari itu, ia menyangkut efisiensi tata kelola, otonomi pembangunan, dan daya saing regional.
“Bayangkan, sebagai ibu kota provinsi, Tanjung Selor menanggung beban yang berat. Infrastruktur, pelayanan publik, dan dinamika sosialnya sudah setara kota. Namun, kewenangan dan anggarannya masih terikat dengan struktur kabupaten. Ini seperti memakai baju yang sudah kekecilan,” ujar Djufrie memberi analogi.
Jalan Panjang Menuju Pemekaran: Memenuhi Syarat Administratif
Harapan Djufrie tertumpu pada dua pihak: Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulungan. Kepada pemerintah pusat, ia memohon agar usulan pembentukan DOB Kota Tanjung Selor segera disetujui.
“Saya harap Pak Gubernur juga berjuang untuk menjadikan Tanjung Selor ini menjadi kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012,” tuturnya, merujuk pada undang-undang pembentukan Kaltara yang juga mengamanatkan pengembangan ibu kotanya.
Namun, jalan menuju pemekaran tidaklah pendek. Syarat administratif menjadi penghalang utama. Saat ini, Tanjung Selor hanya terdiri dari satu kecamatan. Sementara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk menjadi sebuah daerah otonom berstatus kota, sebuah wilayah minimal harus terdiri dari empat kecamatan.
Artinya, masih kurang tiga kecamatan untuk memenuhi syarat mutlak tersebut.
Di sinilah peran krusial Pemkab Bulungan dibutuhkan. Djufrie berharap Pemkab Bulungan dapat segera bergerak melakukan pemekaran desa dan kelurahan, yang pada akhirnya akan membentuk kecamatan-kecamatan baru di wilayah Tanjung Selor.
“Ini adalah pekerjaan rumah kita bersama. Pemkab Bulungan harus didorong untuk melakukan pemekaran. Tanpa itu, usulan DOB Kota Tanjung Selor hanya akan menjadi wacana di tingkat provinsi. Kita perlu aksi nyata dari tingkat bawah,” paparnya.







