Nestala Segala yang Dimiliki, Kisah Pilu Petrus dan Rumah yang Ludes Dimakan Si Jago Merah di Tanjung Selor Timur
News Tanjung Selor– Siang itu, Rabu (29/10/2025), cuaca di Kelurahan Tanjung Selor Timur, Kabupaten Bulungan, tampak seperti biasa. Namun, diam-diam, bencana sedang bersiap mengubah hidup seorang petani bernama Petrus Bulaama Lewar (53). Tepat pukul 13.20 Wita, kedamaian siang itu pecah oleh jerit panik dan kepulan asap hitam yang membubung dari sebuah rumah di Jalan Laing Usar.
Satu Unit Rumah, Segunung Harapan yang Runtuh
Rumah berukuran 7 x 16 meter yang menjadi tempat bernaung Petrus dan keluarganya itu, dalam sekejap, berubah menjadi lautan api. Bagaikan disambar “si jago merah”, kayu-kayu penyangga dan seluruh isi rumah tak berdaya dilalap semburan api yang semakin ganas. Dalam hitungan jam, bangunan yang mungkin penuh dengan kenangan dan jerih payah itu ludes, menyisakan hanya puing-puing hitam dan kepulan asap menyengat.

Baca Juga: Terima Lagi Ribuan Arsip Statis dari OPD, DPK Kaltara Tekankan Urgensi Pembangunan Gudang Arsip
Kerugian material yang diderita Petrus diperkirakan mencapai angka yang tidak sedikit: sekitar Rp100 juta. Sebuah nilai yang sangat besar, terlebih bagi seorang petani. Bukan hanya sekadar bangunan, uang sebesar itu mewakili bertahun-tahun kerja keras, tabungan, dan segala isi kehidupan yang musnah tanpa sisa.
Peringatan dari Tetangga dan Aksi Heroik Warga
Saksi mata, Mansur (41), tetangga korban, menjadi orang yang pertama kali menyaksikan drama mencekam itu. Saat itu, ia sedang asyik bercocok tanam di kebunnya. Seorang warga lain, Pendi, datang dengan napas terengah-engah membawa kabar buruk: rumah Petrus terbakar.
“Mendengar kabar itu, saya langsung lari ke rumah Pak Petrus,” tutur Mansur, menirukan aksi spontannya kala itu. “Saya tendang pintu depan untuk memastikan tidak ada orang di dalam. Tapi api sudah besar, jadi saya teriak minta tolong warga.“
Tendangan pada pintu itu adalah sebuah upaya heroik pertama. Sebuah langkah berani untuk memastikan tidak ada nyawa yang terperangkap di dalam neraka tersebut. Teriakannya kemudian menyatukan semangat gotong royong warga sekitar. Dengan peralatan seadanya, mereka bahu-membahu berusaha memadamkan kobaran api sebelum suara sirine pemadam kebakaran terdengar mendekat.
Kepulangan yang Menyisakan Duka
Sementara kepanikan melanda di Jalan Laing Usar, sang pemilik rumah, Petrus, sama sekali tidak menyadari musibah yang sedang menimpa hidupnya. Saat itu, ia sedang berada di salah satu usaha pengolahan kayu (molding) di Jalan Manunggal, masih dalam kelurahan yang sama.
Kedamaiannya bekerja pupus sudah ketika kabar dari warga sampai kepadanya. Sebuah telepon atau mungkin teriakan yang mengabarkan bahwa rumahnya—tempat ia pulang setiap hari—sedang dilalap si jago merah. Ia pun bergegas pulang, namun yang disambutnya bukan lagi rumah yang hangat, melainkan tumpukan reruntuhan yang masih membara.
“Saya langsung pulang, tapi rumah sudah terbakar habis,” ujar Petrus dengan nada sedih yang menyayat. Kalimat sederhana itu menggambarkan sebuah kepasrahan yang mendalam. Sebuah perasaan helplessness melihat hasil jerih payahnya musnah tanpa bisa diselamatkan sedikit pun.







